Benarkah ibukota itu keras?
Mungkin ibukota keras kepada kita karena dia sayang? Ibukota
pun mengerti bahwa hidup ini tidak semudah mendidihkan air. Entah apa kaitannya
yang penting enak aja lah.
Tepat tanggal 5 Maret 2018 kemarin saya berangkat dari kota
yang konon sangat hangat dan penuh kenangan si Jogjakarta menuju Kota yang
konon penuh pertarungan (Red: Jakarta). Sebelumnya saya tidak pernah ke Jakarta
(sengaja menuju Jakarta). Biasanya ke Jakarta hanya lewat atau berada di dalam
truck untuk diangkut ke pelabuhan Tanjung Priok tanpa tau apa yang terjadi di
luar truck yang mengangkut sejumlah mahasiswa, warga sipil dan sebagian besar
tentara itu (waktu mau berangkat Ekspedisi NKRI ke Papua Barat). Maka bagiaku,
Jakarta ada sesuatu.
Menumpang pak masinis yang mungkin ganteng di lokomotif
terdepan dari kereta Jayakarta yang masih fresh from the oven. Ya meskipun
harganya mahal tapi dia tetap ekonomi (pelajarannya jangan pesan tiket
mepet-mepet. Lho, meskipun ekonomi, anak kampung dari ujung Pulau Jawa ini
tetap takjub. Mengapa demikian? Bukan demi kian atau siapa-siapa, ini demi
kamu. Oke kembali ke topik perkeretaan yang baru beroperasi awal tahun 2018
ini, tempat duduknya gak berhadapan. Astaga, tempat duduk gak berhadapan aja
kagum? Hehehe
“jugijagijugijagijug des des des jug “
Sampailah pagi hari tanggal 6 Maret 2018 di Stasiun Pasar
Senen. Ya Allah, ini pertama kalinya kakiku menginjakkan kaki di Stasiun Pasar
Senen. Beruntungnya, pas di kereta saya duduk sama mas-mas orang Jogja yang
kerja di Jakarta. Dia memaham sekali kalau saya ke Jakarta baru coba-coba uji
nyali, dengan baik hari masnya membimbing saya menuju pintu keluar stasiun yang
naik turun.
Hampir kena calo pun pernah kita lalui
Susah-susah ikhtiar cari calon sampe Jakarta, eh baru keluar
stasiun yang nyamperin abang-abang calo. Setidaknya satu huruf lagi calon di depan
mata. -_________________-
Abaikan perihal calo, saya ngeloyor pergi keluar dari
stasiun mengelilingi taman di dekat Pasar Seen sampai saya terlelah dan
istirahat di depan Pasar Senen Blok III. Mulailah saya pesan taksi onlen
langganan pelancong.
“ssssssssssssssssssiiiiiiuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut”
bunyi mobil bapaknya nyampe di depan saya.
Tiba-tiba secara ajaib saya udah di dalem mobil aja dan
mobilnya udah jalan. Mata saya pun tidak berhenti memandangi gedung-gedung di
Kota Jakarta yang tinggi-tinggi dan biasanya saya hanya lihat di TV atau paling
mentok instagram dan google. Tidak lupa bikin story, yang pas banget tulisannya
‘Gedoeng Djoeang 45’. Ya Allah, baru sampe udah berjuang-berjuang aja, kirain
kesini bakal liburan.
Perjalanan dari Pasar Senen ke Cinere ternyata 1 jam dan
saya baru berangkat dari Pasar Senen jam 7. Padahal acara di Perpusnas di
Jakarta Pusat ini jam 8.30 We I Be. Beruntung bapak sopirnya baik banget.
Mengetahui saya datang dari jauh dan perjalanan masih jauh, bapaknya cerita
banyak banget yang ujung-ujungnya nanya-nanya kayak gini:
“mbak, mbak, kalau misal nih si embak kan belum punya rumah
(tau aja pak anak luntang-luntung). Dan kebetulan saya punya 3 rumah di daerah
Kaliurang yang saling berdampingan. Tapi Rumah ini berdiri di tanah miring,
rumah nomer 1 ada di paling atas, rumah nomer 2 di tengah, dan rumah nomer 3
ada di paling bawah. Embak milih yang mana?”
Air mataku udah hampir jatuh nih ada orang baik, belum
terpikir jawaban. Eh bapaknya udah menimpali.
“misalnya lho ya, misalnya ada 3 rumah itu mbak milih mana?”
Seketika bait pertama lagunya Kunto Aji yang judulnya ‘Ekspektasi’
itu menggema di udara.
Kemudian dengan lantang gema suara itu gugur karena suaraku
menjawab lantang petanyaan bapak itu (jawabannya di rahasiakan ya teman-teman).
“Oke pertanyaan kedua. Nah kan mbaknya udah milih rumah ke X
tuh, kemudian mbaknya pasti pengen kan tinggal sama keluarga, (bapaknya belum
selesai ngomong, akunya udah melayang berimajinasi ada si mas gebetan tinggal
serumah denganku bersama anak-anak pintar dan lucu) mbak pengen ibuk bapak dan
kakak adeknya mbak tinggal bersama kan?”
Eh ternyata aku salah imajinasi.
“iya pak”
“dan tiba-tiba keluarga mbak ada yang sakit. Mbak harus ke
pasar buat beli obat. Nah tapi jalan menuju ke pasar hanya ada satu dan angker
penuh binatang buas, banyak jurang, pokoknya bahaya banget. Mbak bakal menujut
pasar berangkat sendiri atau minta
ditemenin, atau malah nyuruh orang?”
Jawaban (jawaban dirahasikan pak).
“Oke, selanjutnya pertanyaan ketika, mbaknya kan udah
berangkat tuh, udah berhasil nglewatin jalan seram tadi, tiba-tiba mbaknya
lapaaaaar sekali, hauuuuuus sekali, dan mbaknya melihat ada sebuah rumah yang
mbak nggak tau rumah itu berpenghuni atau tidak.Posisi mbaknya udah cape banget
haus lapar. Mungkin mbaknya akan mencoba menengok rumah itu barangkali
berpenghuni dan bisa minta segelas air. Apa yang akan mbak lakukan? Melanjutkan
perjalanan atau ke rumah itu?”
“jawaban dirahasiakan pak”
“oke, mbaknya udah melewati 3 hal itu ya, kemudian mbaknya
lihat rumah lagi nih udah dekat sama pasar. Mbaknya udah haus banget, dan rumah
itu ramai orang dan jelas kalau berpenghuni. Kira-kira mbaknya akan melanjutkan
perjalanan atau mampir minta minum?”
“jawaban dirahasiakan ya pak”
“oke, terakhir. Si mbak udah sampai pasar, tiba-tiba kaki
mbaknya menyenggol kunci di jalan. Kunci terjatuh kira-kira begitu. Nah, apa
yang mbak lakukan dengan kunci itu? Mengabaikan, mengembilnya menanyakan ke
semua orang, atau bagaimana?
“lagi-lagi jawaban dirahasiakan ya pak”.
Eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh, ternyata saya sedang dibaca karakter
dan sifatnya oleh si bapak. Satu-persatu jawaban itu dibeberkan maknanya oleh
sibapak kepada saya. Serasa ditelanjangi. Tapi beruntung bapak itu orang baik
jadi saya tidak terlalu khawatir. Toh setelah ini tidak akan ketemu lagi. Dan
selain itu masih banyak petuah-petuah yang diberikan beliau.
Nah bagi teman-teman yang ikut menebak setiap pertanyaan
bapak taksi onlen itu dan ingin tau jawabannya, bisa email ke saya suryandari44@gmail.com.
Perjalanan di Jakarta pun dilanjutkan di postingan
selanjutnya....