Thursday, 15 March 2018

Ibukota Keras, Ibukita lemah lembut?


Benarkah ibukota itu keras?
Mungkin ibukota keras kepada kita karena dia sayang? Ibukota pun mengerti bahwa hidup ini tidak semudah mendidihkan air. Entah apa kaitannya yang penting enak aja lah.
Tepat tanggal 5 Maret 2018 kemarin saya berangkat dari kota yang konon sangat hangat dan penuh kenangan si Jogjakarta menuju Kota yang konon penuh pertarungan (Red: Jakarta). Sebelumnya saya tidak pernah ke Jakarta (sengaja menuju Jakarta). Biasanya ke Jakarta hanya lewat atau berada di dalam truck untuk diangkut ke pelabuhan Tanjung Priok tanpa tau apa yang terjadi di luar truck yang mengangkut sejumlah mahasiswa, warga sipil dan sebagian besar tentara itu (waktu mau berangkat Ekspedisi NKRI ke Papua Barat). Maka bagiaku, Jakarta ada sesuatu.
Menumpang pak masinis yang mungkin ganteng di lokomotif terdepan dari kereta Jayakarta yang masih fresh from the oven. Ya meskipun harganya mahal tapi dia tetap ekonomi (pelajarannya jangan pesan tiket mepet-mepet. Lho, meskipun ekonomi, anak kampung dari ujung Pulau Jawa ini tetap takjub. Mengapa demikian? Bukan demi kian atau siapa-siapa, ini demi kamu. Oke kembali ke topik perkeretaan yang baru beroperasi awal tahun 2018 ini, tempat duduknya gak berhadapan. Astaga, tempat duduk gak berhadapan aja kagum? Hehehe
“jugijagijugijagijug des des des jug “
Sampailah pagi hari tanggal 6 Maret 2018 di Stasiun Pasar Senen. Ya Allah, ini pertama kalinya kakiku menginjakkan kaki di Stasiun Pasar Senen. Beruntungnya, pas di kereta saya duduk sama mas-mas orang Jogja yang kerja di Jakarta. Dia memaham sekali kalau saya ke Jakarta baru coba-coba uji nyali, dengan baik hari masnya membimbing saya menuju pintu keluar stasiun yang naik turun.
Hampir kena calo pun pernah kita lalui
Susah-susah ikhtiar cari calon sampe Jakarta, eh baru keluar stasiun yang nyamperin abang-abang calo. Setidaknya satu huruf lagi calon di depan mata. -_________________-
Abaikan perihal calo, saya ngeloyor pergi keluar dari stasiun mengelilingi taman di dekat Pasar Seen sampai saya terlelah dan istirahat di depan Pasar Senen Blok III. Mulailah saya pesan taksi onlen langganan pelancong.
“ssssssssssssssssssiiiiiiuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut” bunyi mobil bapaknya nyampe di depan saya.
Tiba-tiba secara ajaib saya udah di dalem mobil aja dan mobilnya udah jalan. Mata saya pun tidak berhenti memandangi gedung-gedung di Kota Jakarta yang tinggi-tinggi dan biasanya saya hanya lihat di TV atau paling mentok instagram dan google. Tidak lupa bikin story, yang pas banget tulisannya ‘Gedoeng Djoeang 45’. Ya Allah, baru sampe udah berjuang-berjuang aja, kirain kesini bakal liburan.
Perjalanan dari Pasar Senen ke Cinere ternyata 1 jam dan saya baru berangkat dari Pasar Senen jam 7. Padahal acara di Perpusnas di Jakarta Pusat ini jam 8.30 We I Be. Beruntung bapak sopirnya baik banget. Mengetahui saya datang dari jauh dan perjalanan masih jauh, bapaknya cerita banyak banget yang ujung-ujungnya nanya-nanya kayak gini:
“mbak, mbak, kalau misal nih si embak kan belum punya rumah (tau aja pak anak luntang-luntung). Dan kebetulan saya punya 3 rumah di daerah Kaliurang yang saling berdampingan. Tapi Rumah ini berdiri di tanah miring, rumah nomer 1 ada di paling atas, rumah nomer 2 di tengah, dan rumah nomer 3 ada di paling bawah. Embak milih yang mana?”
Air mataku udah hampir jatuh nih ada orang baik, belum terpikir jawaban. Eh bapaknya udah menimpali.
“misalnya lho ya, misalnya ada 3 rumah itu mbak milih mana?”
Seketika bait pertama lagunya Kunto Aji yang judulnya ‘Ekspektasi’ itu menggema di udara.
Kemudian dengan lantang gema suara itu gugur karena suaraku menjawab lantang petanyaan bapak itu (jawabannya di rahasiakan ya teman-teman).
“Oke pertanyaan kedua. Nah kan mbaknya udah milih rumah ke X tuh, kemudian mbaknya pasti pengen kan tinggal sama keluarga, (bapaknya belum selesai ngomong, akunya udah melayang berimajinasi ada si mas gebetan tinggal serumah denganku bersama anak-anak pintar dan lucu) mbak pengen ibuk bapak dan kakak adeknya mbak tinggal bersama kan?”
Eh ternyata aku salah imajinasi.
“iya pak”
“dan tiba-tiba keluarga mbak ada yang sakit. Mbak harus ke pasar buat beli obat. Nah tapi jalan menuju ke pasar hanya ada satu dan angker penuh binatang buas, banyak jurang, pokoknya bahaya banget. Mbak bakal menujut pasar berangkat  sendiri atau minta ditemenin, atau malah nyuruh orang?”
Jawaban (jawaban dirahasikan pak).
“Oke, selanjutnya pertanyaan ketika, mbaknya kan udah berangkat tuh, udah berhasil nglewatin jalan seram tadi, tiba-tiba mbaknya lapaaaaar sekali, hauuuuuus sekali, dan mbaknya melihat ada sebuah rumah yang mbak nggak tau rumah itu berpenghuni atau tidak.Posisi mbaknya udah cape banget haus lapar. Mungkin mbaknya akan mencoba menengok rumah itu barangkali berpenghuni dan bisa minta segelas air. Apa yang akan mbak lakukan? Melanjutkan perjalanan atau ke rumah itu?”
“jawaban dirahasiakan pak”
“oke, mbaknya udah melewati 3 hal itu ya, kemudian mbaknya lihat rumah lagi nih udah dekat sama pasar. Mbaknya udah haus banget, dan rumah itu ramai orang dan jelas kalau berpenghuni. Kira-kira mbaknya akan melanjutkan perjalanan atau mampir minta minum?”
“jawaban dirahasiakan ya pak”
“oke, terakhir. Si mbak udah sampai pasar, tiba-tiba kaki mbaknya menyenggol kunci di jalan. Kunci terjatuh kira-kira begitu. Nah, apa yang mbak lakukan dengan kunci itu? Mengabaikan, mengembilnya menanyakan ke semua orang, atau bagaimana?
“lagi-lagi jawaban dirahasiakan ya pak”.
Eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh, ternyata saya sedang dibaca karakter dan sifatnya oleh si bapak. Satu-persatu jawaban itu dibeberkan maknanya oleh sibapak kepada saya. Serasa ditelanjangi. Tapi beruntung bapak itu orang baik jadi saya tidak terlalu khawatir. Toh setelah ini tidak akan ketemu lagi. Dan selain itu masih banyak petuah-petuah yang diberikan beliau.
Nah bagi teman-teman yang ikut menebak setiap pertanyaan bapak taksi onlen itu dan ingin tau jawabannya, bisa email ke saya suryandari44@gmail.com.

Perjalanan di Jakarta pun dilanjutkan di postingan selanjutnya....

No comments:

Post a Comment